Wednesday, December 19, 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Herpes Simpleks Virus (veneral disease) termasuk dalam penyakit kelamin yang sudah lama di kenal. Infeksi virus Herpes simplex genitalis tercatat meningkat terus sejak pertengahan 1960 sampai awal era epidemik AIDS. Laporan tahunan di AS meningkat pada tahun 1966 tercatat 300.000 menjadi lebih dari 450.000 kasus pada tahun 1985, kemudian menurun sedikit pada tahun 1987. Demikian juga penemuan kasus baru tahun 1966 sebesar 18.000 meningkat 8,8 kali lipat menjadi 157.000 pada tahun 1984, kemudian menurun mulai tahun 1987. 1.3. Rumusan Masalah 1. Apa definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis, epidomiologi dari penyakit Herpes Simpleks? 2. Bagaimana penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes Simpleks? 3. Bagaimana penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek medis maupun dari aspek sosial budaya? 4. Apa saja dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks terutama pada kehamilan? 5. Bagaimana perasaan pasien dari aspek psikologis? 6. Apa saja peran perawat dalam menangani pasien yang terserang herpes Simpleks? 7. Bagaimana solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit herpes simpleks? 1.2. Tujuan 1. Untuk megetahui bagaimana penyebaran penyakit kelamin yaitu Herpes Simpleks yang dilihat baik dari aspek medis maupun dari aspek sosial budaya. Juga untuk mengetahui peran perawat kepada pasien dan mencari solusi untuk mengurangi penyebarannya. 2. Untuk memenuhi tugas kelompok. BAB II PEMBAHASAN 2.1. Herpes Simpleks 2.1.1. Definisi Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema pada daerah mukotan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens. SINONIM Fever blister, ciold store, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis (genitalis) 2.1.2. Epidemiologi Penyakit ini menyebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupin wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. 2.1.3. Etiologi Herpes genitalis disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) ATAU Herpes Virus Hominis (HVH), UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan SHARLITT pada tahun 1940 membedakan antara HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV tipe 2 (HSV-2). Sebagian besar penyebabnya adalah HSV-2, tetapi walaupun demikian dapat juga disebabkan oleh HSV-1 (± 16,1%) akibat hubungan kelamin secara urogenital atau penularan melalui tangan. Secara serologik, biologik dan sifat fisikokimia HSV-1 dan HSV-2 sukar dibedakan. Dari penelitian seroepidemiologik didapat bahwa antibodi HSV-1 sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur 5 tahun, meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian seroepidemiologik terhadap antibodi HSV-2 sulit untuk dinilai berhubung adanya reaksi silang antara respons imun humoral HSV-1 dan HSV-2. Dari data yang dikumplkan di WHO dapat diambil kesimpulan bahwa antibodi terhadap HSV-2 rata-rata baru terbentuk setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari 30%, pada kelompok wanita di atas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada pekerja seks wanita (PSW) ternyata antibodi HSV-2 10 kali lebih tinggi daripada orang normal. 2.1.4. Patogenesis Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode 1 infeksi primer (inisial), episode 1 non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode 1 infeksi primer, virus yang berasal dari ,luar masuk ke dalam tubuh Hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut dan mengadakan multiplikasi/replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis) dan berdian di sana serta bersifat laten. Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer. Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor) , virus akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekurens. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. Tringger factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stress, emosi, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, obat-obatan (immunosupresif, kortkosteroid), dan pada beberapa kasus sukar dketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai terjadinya infeksi rekurens: 1. Reaksi pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan virus akan turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang dipersarafinya dan akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulkan lesi. 2. Virus secara terus menerus dilepaskan ke sel epitel dan adanya faktor pensetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekurens. 2.1.5. Gejala klinis Manifestasi klinik dapat dipengaruhi oleh faktor herpes pajanan HSV sebelumnya. Episode tedahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi HSV-2 adalah asimtomatik. Infeksi HSV ini berlangsung dalam 3 tingkat : 1. Infeksi primer Tempat prediksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi atau pada orang yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe II mempunyai tempat prediksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus. Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama dan berat kira-kira 3 minggu. Biasanya di dahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi timbul dapat diserta gejala konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eriterm. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multiple. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut, tetapi bila ada, penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut. Klenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi di saerah serviks, dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multiple sampai terjadinya ulkus yang besar dan nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dapat dua sampai empat minggu, sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi terdapat di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan mielitis dan radikulitis. 1. Infeksi Laten Fase ini berarti penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif dalam ganglion dorsalis. 2. Infeksi Rekurens Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kilit sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat li sekitarnya (non loco). Infeksi rekures dapat terjadi dengan cepat/lambat, sedangkan gejala yang timbul biasanya lebih ringan kira-kira 7-10 hari, karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, infeksi inisial dan rekurensi selain disertai gejala klinis bisa tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap HSV-2 pada orang yang tidak ada riwayat penyakit herpes genitalis sebelumnya. Adanya antibodi terhadap HSV-1 menyebabkan infeksi HSV-1 lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-2 berjalan asimtomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi HSV-1. Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, batang penis, dapat juga di uretra dan daerah anal (pada homoseks),sedangkan daerah skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan di daerah labia major/minor, klitoris, introitus vaginae, serviks, sedangkan pada daerah perianal, bokong dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita sering dihubungkan dengan servisitis, karena itu perlu pemeriksaan sitologi secara teratur. 2.2. Penatalaksanaan Setelah diagnosi ditegakkan, baik secara klinis, dengan maupun tanpa pemeriksaan penunjang, maka langkah selanjutnya adalah memberikan pengobatan. Pengobatan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu profilaksis, pengobatan non-spesifik dan pengobatan spesifik. 1. Tindakan Prolaksis a. Penderita diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menulat terutama bila sedang terkene serangan, karena itu sebaiknya melaksanakan abstinensia. b. Proteksi individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa spermisidal dan kondom. Komninasi tersebujt, bila diikuti dengan pencucian alat kelamin memakai air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah transmisi herpes genitalis hampir 100% (Raab dan Lorincz, 1981). Busa supermisidal secara in vitro ternyata mempunyai sifat virisidal, dan kondom dapat mengurangi penetrasi virus. c. Faktor-faktor pencetus sedapat mungkin dihindari. d. Konsultasi psikiatrik dapat dapat membantu karena faktor psikis mempunyai oeranan untuk timbunya serangan. 2. Pengobatan non-spesifik a. Rasa nyeri dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian analgetika, antipretik dan antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual. b. Zat-zat pengering yang berisifat antiseptik, seperti jodium povidon secara topikal mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan. c. Antibiotika atau kontrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. 3. Pengobatan Spesifik Berbagai macam obat antivirus telah pernah dipakai untuk mengatasi penyakit herpes genitalis, misalnya idoksuridin topikal, sitarabin (Ara-C) dan Viradabin (Ara-A) secara intravena, inosipleks (isoprinosin), dan interferon. Obat antivirus yang kini telah banyak dipakai ialah asiklovir, dan saat ini ada lagi 2 macam obat antivirus baru yaitu valasiklovir dan famsiklovir. a. Asiklovir Asiklovir merupakan obat antivirus yang spesifik terhadap virus herpes, dapat diberikan pada penderita dengan infeksi mukokotan disertai defisiensi imunitas. Obat ini hanya bekerja pada sel-sel yang terkena infeksi. Tidak mempunyai efek teratogenik. Toleransi obat bai, tidak ada toksisitasa akut dan tidak menimbulkan penekanana sumsum tulang, hati dan ginjal. Tetapi walaupun demikian pernah dilaporkan efek samping seperti kolik ginjal, kenaikan kadar ureum/ kreatinin dalam serum, reaksi setempat pada suntikan nausea dan vomitus. Asiklovir dapat diberikan secara intravena, oral dan topikal. Cara pemberian intravena harus perlahan-lahan dan perlu pengawasan. Oleh karena itu ssebaiknya diberikan di rumah sakit. Dosis setiap kali pemberian adalah 5 mg/kgBB, dengan interval 8 jam. Pengobatan asiklovir secara intravena pada herpes genital episode pertama, yang memerlukan waktu selama 5-10 hari. Ternyata tidak dapat mengurangi rekurensi (Corey DKK, 1985). Bila secara oral diberikan dengan dosis 200 mg 5 kali sehari selama 5-10 hari. Seperti secara intravena, pengobatan per oral mengurangi viral shedding secara dramatis. Banyak sarjana berpendapat bahwa pada infeksi primer sebaiknya diberi asiklovir secara intravena dan pada infeksi rekurens diberikan secara oral. Pembrian obat secara oral juga tidak menjamin tidak timbul rekurensi. Kinghorn dkk (1986) telah membuktikan bahwa asiklovir 200 mg lima kali sehari per oral ditambah kotromoksazol (160 mg dan 800 mg sulfametoksazol) dua kali sehari selama 7 hari memperpendek waktu penyembuhan lesi secara bermakna dibandingkan dengan pengobatan asiklovir saja. Penanganan infeksi rekurens menurut Moreland dkk (1990) dapat ditempuh dengan 4 cara: 1. Tidak diberi terapi spesifik (terutama pada infeksi yang ringan) 2. Asiklovir peroral secara episodik dengan dosis 5x200 nm/ hari selama 5 hari. Cara ini diberikan pada penderita dengan riwayat lesi multiple atau serangan yang lama (7 hari) 3. Supresi kronis asiklovir, dapat dipertimbangkan bila seseorang mengalami keadaan sebagai berikut : a. Rekurensi lebih dari 8 kali per tahun. b. Rekurensi lebih dari 1 kali per bulan. c. Rekurensi menimbulkan beban psikologis yang berat . d. Bila terapi dirasakan lebih bermanfaat dibandingkan biaya untuk penderita tersebut. Dosis asiklovir yang di berikan minimal 2 x 200 mg/hari dan dapat ditinggikan sampai 3-4 x 200 mg/hari tergantung pada keadaan. Cara ini efektif dan aman untuk jangkam waktu minimal 1 tahun, dengan penilaian ulang setiap 6 bulan. 4. Supresi episodik dengan asiklovir, diberikan pada individu dengan rekurensi terutama bila ada stress. Asiklovir topikal diberikan dalam bentuk krim 5%. Obat ini bekerja langsung pada sel yang terinfeksi serta memperpendek viral shedding . Efek toksiknya sangat minimal, absorbsinya minimal dan tidak mengadakan interaksi dengan obat lain yang digunkan secra bersamaan. Selain itu juga data mengurangi rasa nyeri dan gatal. Karena hasilnya kurang efektif dibandingkan dengan pemberian secara oral, maka pemakaiannya hanya untuk mengurangi keparahan dan lamanya episode rekurens. b. Valasiklovir Obat ini merupakan derivat ester L-valil dari asiklovir. Bahan iktif antivirusnya ialah asiklovir, sehingga kemanjuran dan spesifitasnya berhubungan dengan cara kerja asiklovir. Setelah diabsorbsi, valasiklovir dengan cepat dan hampir seluruhnya, diubah menjadi asiklovir dan L-valin. Bioavailabilitasnya 3-5 kali lebih tonggi dari pada yang dapat dicapai oleh asiklovir oral dosis tinggi. kadar dalam plasma setelah valasiklovir oral 1000 mg mendekati kadar yang dapat dicapai oleh asiklovir yang diberikan secara intravena. Pada uji klinik yang membandingkan valasiklovir 2 x 500 mg/hari, dengan asiklovir oral 5 x 200 mg/hari, dan plasebo dalam waktu 24 jam setelah timbulnya keluhan dan gejala klinis pertama episode herpes genitalis rekurens menunjukkan bahwa terapi valasiklovir secara bermakna mengurangi rasa nyeri dan mempercepat penyembuhan lesi serta dengan cepat memperpendek masa viral shedding. Efek samping yang paling sering dilaporkan ialah nyeri kepala dan mual. c. Famsiklovir Obat intivirus yang baru lain ialah famsiklovir (famciclovir) yang merupakan derivat diasetil-6-deoksi pensiklovir. Sedangkan pensiklovir sendiri merupakan golongan antivirus dengan komponen guanin, yang dapat diberikan secara topikal dan intravena. Famsiklovir, dikembangkan untuk pengobatan infeksi virus herpes, dengan cara pemberian per oral. Cara kerja Famsiklovir sama seperti asiklovir, yaitu menghambat sintesis DNA. Pada penderita herpes genitalis episode pertama, pemberian famsiklovir 3 kali 500 mg pe hari selama 5 hari, ternyata mempersingkat viral shedding dan waktu penyembuhan, dibandingkan plasebo. Bila dibandingkan dengan pengobatan asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari, pemberian famsiklovir 3x 750 mg/hari dalam waktu yang sama, secara statistik tidak menunjukkan oerbedaan dalam lamanya viral shedding, waktu menghilangnya vesikel dan ulkus, serte terjadinya krustasi dan hilangnya rasa sakit. 2.2.1. Penatalaksanaan Wanita Hamil Dengan Herpes Genitalis Wanita hamil yang menderita herpes genitalis primer dalam 6 minggu terakhir masa kehamilannya dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea sebelum atau dalam 4 jam sesudah pecahnya ketuban. Seksio sesarea tidak dilakukan secara rutin pada wanita yang mendeeita herpes genitalis rekurens. Hanya wanita dengan viral shedding pad saat atau hampir melahirkan memerlukan seksio sesarea. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan virologik dan sitologik sejak kehamilan 32 dan 36 minggu. Setelah itu sekurang-kurangnya dilakukan kultur sekret serviks dan genetalia eksterna. Bila kultur virus yang di inkubasi minimal 4 hari,memberikan hasil negatif 2 kali berturut-turut, serta tidak ada lesi genital pada saat melahirkan maka dapat diannjurkan partus per vaginam. Kontak yang lama dengan sekret yang infeksius, secara relatif dapat meningkatkan resiko penularan penyakit. Oleh karena itu banyak penulis menganjurkan, sebaiknya seksio sesarea dilakukan sebelum atau dalam 4 jam sesudah ketuban pecah untuk mencegah bayi idtulari. Pemberian asiklovir pada wanita hamil dapat dipertimbangkan, terutama pada infekdi primer. Pada pertemuan International Herpes Management Forum di San Fransisco AS November 1994, telah disetujuipenatalaksanaan herpes genitalis pada wanita hamil dengan mempertimbangkan apakah merupakan infeksi primer atau rekurens, serta usia kehamilan. Episode awal herpes genitalis pada kehamilan dengan gejala yang berat, dianjurkan untuk diberikan Asiklovir oral 5 x 200 mg/hari selama 7-10 hari. Asiklovir oral dosis supresif secara rutin tidak dianjurkan untuk herpes. Genitalis rekurens selama kehmilan atau dekat dengan akhir kehamilan. 2.2.2. Penatalaksanaan Bayi Lahir dari Ibu dengan Herpes Genitalis Banyak rumah sakit yang menganjurka isolasi untuk bayi yang lahir dari ibu dengan herpes genitalis. Kultur virus, pemeriksaan fungsi hati dan cairan cerebrospinal harus dilakukan. Serta bayi harus diawasi ketat selama satu bulan pertama kehidupannya. Spesimen untuk pemeriksaan kultur virus diambil dari konjuntiva, umbilikus, nasofaring, dan setiap lesi kulit yang dicurigai pada 24-48 jam pertama. Bila ibu mengidap herpes genitalis primer pada saat persalinan per vaginam, harus diberikan profilaksis asiklovir intravena kepada bayi selama 5-7 hari dengan dosis 3 x 10 mg/kgBB/hari. Infeksi herpes simpleks pada neonatus prognosisnya buruk bila tidak di obati. Penelitian pengobatan dengan asiklovir 10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 10-21 hari, atau Ara-A 30 mg/kgBB/hari menurunkan angka kematian dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat pengobatan. Cara pengobatan ini juga dapat mencegah progresivitas penyakit (infeksi herpes pada sususnan saraf pusat atau infeksi diseminata). Oleh karena itu identifikasi lesi kulit sangat penting untuik menentukan ada/tidaknya infeksi HSV pada neonatus. 2.2.3. Penatalaksanaan Herpes Genitalis pada Immunocompromised Pada penderita Immunocompromised. Pengobatan infeksi herpes simpleks memerlukan waktu yang lebih lama. Asiklovir oral dapat diberikan dengan dosis 5 x 200 mg – 400 mg/hari selama 5-10 hari. Pada yang beresiko tinggi untuk menjadi diseminata, atau yang tidak dapat menerima pengobatan oral, mka asiklovir diberikan secara intravena 3 x 5 mg/kgBB/hari selama 7-14 hari. Bila terdapat bukti terjadinya infeksi sinstemik dianjurkan terapi asiklovir intravena 3 x 10 mg/kgBB/hari selama paling sedikit 10 hari. Oleh karena pada keadaan tersebut lebih sering terjadi rekurensi pengobatan supresif lebih dianjurkan, dengan dosis asiklovir paling sedikit harus 2 x 400 mg/hari hingga keadaan Immunocompromisnya hilang (jika mungkin). Untuk penderita infeksi HIV simtomatik atau AIDS, digunakan asiklovir oral 4-5 x 400 mgg/hari hingga lesi sembuh, setelah itu dapat diberikan terapi supresif. 2.3. Penyebaran Penyakit Herpes Simpleks dilihat dari Aspek Budaya Penyakit herpes simpleks yang merupakan penyakit kelamin ini terdapat banyak di negara manapun juga, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju dan tersebar luas pada semua lapisan masyarakat baik yang miskin maupun yang kaya. Banyaknya penyakit kelamin dalam masyarakat, mencerminkan keadaan sosial penderita karena sebagian besar tergantung pada tingkah laku manusia, faktor psikologis dan keadaan sosio ekonominya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit herpes simpleks ini diantaranya : 1. Faktor dasar a. Adanya penularan penyakit b. Berganti-ganti pasangan seksual 2. Faktro medis a. Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis b. Pengobatan modern c. Pengolahan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga risiko resistensi tinggi, dan bila disalahgunakan akan meninggalkan risiko penyebaran infeksi. 3. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan kehamilannya saja, berbeda dengan kondom yang juga ddapat digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularannya 4. Faktor sosial a. Mobilitas penuduk yang bertambah b. Prostitusi c. Waktu yang santai d. Kebebasan inidvidu e. Ketidaktahuan f. Peledakan jumlah penduduk g. Kemajuan sosial ekonomi terutama dalam bidang industri yang menyebabkan lebih banyak kebebasan sosial maupun kebebasan seks. Selain faktor-faktor tersebut di atas masih ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi perbedaan prevalensi antara negara maju dan berkembang: a) Diagnosis yang kurang tepat karena keterbatasan sarana penunjang b) Komplikasi lebih banyak ditemukan di negara berkembnag, karena keterlambatan diagnosis ddan pengobatan. 5. Perubahan sikap terutama dalam bidang agama dan moral akibat perubahan demografik 6. Kelalaian dalam memberikan pendidikan seks. 7. Perasaan aman karena kemudahan mendapatkan obat dan alat kontrasepsi. 8. Fasilitas kesehatan yang kurang memadai 9. Banyak kasus yang tidak memberikan gejala tetapi dapat menular kepada orang lain. 10. Kurangnya informasi tentang penularan penyakit Herpes di masyarakat dan juga bahaya-bahaya penyakit kelamin baik untuk dirinya maupun keturunannya. 2.4. Dampak Bagi pasien 2.4.1. Herpes Genitalis pada Kehamilan Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius, karena melalui plasenta virus dpat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal mempunyaimangka mortilitas 60% separuh dari yang hidup menderita cacat neuroligis atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, mikrosefali, hidrosefali, koroidoretinitis, keratokonjungtivitis, atau hepatitis, disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Di amerika serikat frekuensi herpes neonatal adalah satu per 7500 kelahiran hidup. Bila trans =misi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus, sedangkan bila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum atau pasca partum. 2.4.2. Herpes Genitalis pada Imunodefisiensi Herpes genitalis merupakan satu masalah pada penderita dengan imunodefisiensi, oleh karena kelainan yang ditemukan cukup progresif berupa ulkus yang dalam di daerah anogenital. Disamping itu lesi juga lebih luas dibandingkan dengan keadaan biasanya. Pada keadaan imunodfisiesnsi yang tidak berat didapatkan keluhan rekurensi yang lebih lama. KOMPLIKASI Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi yang baru lahir. Herpes genitalis pada permulaan kehamilan bisa menimbulkan abortus/malformasi kongenital berupa mikrosefali. Pada bayi yang lahir pada ibu yang menderita herpes genitalis pada kehamilan dapat ditemukan kelainan berupa hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokunjungtivitis, erupsi kulit berupa vesikel herpetiformis dan bahkan bisa lahir mati. Pada orang tua, hepatitis karena HSV jarang ditemukan, sedangkan meningitis dan ensefalitis pernah dilaporkan. Pada orang tua meningitis hepatika biasanya disebabkan oleh HSV-2 sedangkan ensefalitis oleh HSV-1. Disamping itu juga ditemukan hipersensitivitas terhadap virus, sehingga timnul reaksi pada kulit berupa eritema eksudativum multiforme. Dapat juga timbul ketakutan dan depresi terutama bila terjadi salah penanganan pada penderita. 2.5. Perasaan Dari Segi Psikologis Pasien Perasaan dari segi psikologis pasien 1. Kemarahan/Marah, rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan orang lain bahkan kepada Tuhan. 2. Depresi Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki harga diri yang rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam makan, tidur, kebiasaan olahraga, pekerjaan, dan sosial. 3. Menyalahkan diri sendiri 4. Ketakutan 5. Berusaha menyembunyikan penyakitnya dari orang lain. Masalah psikologis seperti tersebut, akan sangat memperburuk kondisi dan juga dapat memperburuk sebuah hubungan seksual pada pasangan suami istri, karena adanya kecemasan. Hal ini merupakan konsekuensi yang sangat penting secara psikologis perselisihan seksual dan setiap penghentian dari seks dapat membawa tekanan besar untuk hubungan yang mengarah ke perpisahan. Situasi tersebut dapat lebih diperparah oleh kebohongan, dalam mayoritas orang yang menderita herpes genital akan menggunakan alasan untuk tidak berhubungan seks daripada mengakui kebenaran bahwa mereka dipengaruhi oleh kondisi tersebut. 2.6. Peran Perawat dalam Menangani Pasien yang Terserang Herpes Komunikasi yang baik dan keterampilan konseling memainkan bagian penting dalam pengelolaan semua jenis kesulitan pasien, untuk pasien dengan herpes kelamin, atau infeksi menular seksual lainnya. Sejumlah penelitian telah menetapkan pentingnya hubungan antara perawat dan pasien ketika mengelola dampak psikologis dari herpes genital. Pedoman ini berfokus pada peran konseling dan komunikasi yang baik dalam manajemen optimal dari pasien dengan herpes genital. • Perspektif pasien Tidak mengherankan, ada tingkat yang sangat tinggi morbiditas psikologis yang terkait dengan herpes kelamin, yang perlu ditangani ketika mengelola aspek-aspek medis dari penyakit. Bagi banyak orang, diagnosis herpes kelamin adalah berita terburuk yang pernah mereka terima. Sementara respon bervariasi, pasien biasanya mengalami kejutan, kemarahan, rasa malu, rasa bersalah dan ketakutan. Perhatian utama adalah dampak potensial penyakit yang akan timbul pada kehidupan. Seperti bagaimana mereka akan memberitahu teman-teman mereka, keluarga dan pasangan seksual, bagaimana mereka akan dilihat oleh mereka, apakah mereka akan ditolak, takut menulari orang lain, dan takut yang pernah dapat hidup "normal" kehidupan, bentuk hubungan yang langgeng dan memiliki sebuah keluarga. Banyak orang bahkan takut konsultasi dengan dokter, khawatir bahwa mereka akan dinilai sebagai kotor atau promiscuous. • Tujuan konseling Konseling merupakan bagian integral dari keberhasilan pengelolaan pasien dengan herpes dan memiliki sejumlah tujuan yang jelas. Tujuan yang luas adalah jika pasien menerima bahwa herpes adalah bukan "hukuman" melainkan suatu kondisi medis yang relatif umum, yang dapat dikelola berhasil untuk meminimalkan dampak negatif pada kehidupan mereka. Secara khusus, tujuan konseling adalah: a) Untuk menjalin hubungan dengan pasien, sesuai dengan pengobatan, sehingga dari hari ke hari manajemen pemulihan dapat ditingkatkan b) Untuk memberikan informasi dan pendidikan tentang herpes, prevalensi misalnya, transmisi, rekuren, mencegah infeksi lain, pilihan pengobatan dan jaringan pendukung. c) Untuk meminimalkan sequela psikologis, yang biasanya merupakan hasil dari kondisi kronis, termasuk libido berkurang, kehilangan diri, harga diri rendah dan kecemasan tentang transmisi, rincian kemungkinan hubungan, depresi dan rasa bersalah yang ekstrim. d) Untuk membantu proses menginformasikan mitra pasien. e) Untuk tahu kapan untuk merujuk pasien pada terapi psikologis untuk lebih intensif, dan f) Mengklarifikasi isu seputar transmisi yang dapat mempengaruhi hubungan seksual saat ini, menumpahkan gejala misalnya a) Aturan konseling pasien herpes kelamin 1. Memiliki lingkungan yang tepat 2. Memiliki sikap yang tepat. Perawat harus menunjukkan sikap peduli, meminta pasien membuka, tidak menghakimi pertanyaan dan bertujuan untuk mengembangkan kepercayaan pasien. Mencoba untuk membayangkan diri anda jika berada pada posisi seperti pasien dapat membantu untuk membangun empati. Pertimbangkan konsultasi sebagai kesempatan untuk secara terbuka jelajahi semua masalah-baik yang relevan medis dan psikologis-sehingga pasien memiliki kesempatan terbaik untuk terlibat dalam pengambilan keputusan manajemen utama. Hal ini penting untuk memiliki keseimbangan antara kebutuhan untuk mendapatkan fakta-fakta dan memberikan saran dan kebutuhan untuk mengembangkan hubungan yang terbuka dan saling percaya. Waktu yang memadai harus diberikankan untuk menutupi poin kunci yang relevan pada konsultasi awal (misalnya berurusan dengan shock menerima diagnosis atau mengelola gejala-gejala fisik) dengan fakta lain dan isu yang dibahas pada konsultasi-konsultasi berikutnya. 3. Menyediakan informasi yang tepat Sebuah aspek utama dari konseling pasien herpes kelamin misalnya seperti menghilangkan mitos dan memberikan informasi yang jelas dan akurat tentang sifat dan pengelolaan penyakit. Ini harus disediakan baik secara lisan maupun tertulis. Ada beberapa sumber yang tersedia saat ini. Diantaranya harus mencakup: • Sifat klinis dan sejarah alam dari penyakit (misalnya infeksi, pembentukan latency, gejala, diagnosa, frekuensi dan keparahan kekambuhan, prodromes, transmisi, menumpahkan gejala, sifat kronis penyakit dll) • Pengobatan pilihan (termasuk pendekatan yang berbeda untuk terapi antivirus); • Kemungkinan pemicu dan cara menghindarinya • Manajemen saran gaya hidup (diet, olahraga, stres dll manajemen) • Praktik seks aman dan menghindari transmisi • Prevalensi penyakit (mereka tidak sendirian) • Hubungan Herpes dan kehamilan • Strategi untuk menginformasikan, dan • Pilihan untuk spesialis / konseling yang sedang berlangsung, kelompok herpes dukungan, informasi lebih lanjut dll. BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit herpes simpleks. Baik itu dari aspek medis maupun dari aspek sosial budaya. Seseorang atau pasien yang sedang menderita penyakit ini akan mengalami dampak psikologis di dalam dirinya, seperti : 1. Kemarahan/Marah, rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan orang lain bahkan kepada Tuhan. 2. Depresi Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki harga diri yang rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam makan, tidur, kebiasaan olahraga, pekerjaan, dan sosial. 3. Menyalahkan diri sendiri 4. Ketakutan dan 5. Berusaha menyembunyikan penyakitnya dari orang lain. Oleh karena itu, peran perawat dalam hal ini memiliki hubungan yang sangat penting. Disamping membantu memberikan pengobatan, perawat juga bisa membantu memberikan konseling kepada pasien untuk mengurangi beban psikologis yang dihadapinya. Selain itu perawat juga bisa memberikan informasi atau penyuluhan kepada masyarakat mengenai bagaimana penyebaran penyakit Herpes Simpleks ini, juga bahayanya jika di derita oleh ibu yang sedang hamil. Karena akan menginfeksi pada bayi yang sedang dikandungnya. Perawat juga bisa memberi informasi mengenai bagaimana cara penanganannya. Dengan demikian diharapkan penyebaran penyakit ini dapat diminimalisir, dan akan menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit Herpes Simpleks. 3.2. Saran Pemberian konseling kepada pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks harus perlu dilakukan perawat untuk mengurangi penyebaran dari penyakit ini. Kita sebagai perawat harus memberi penyuluhan kepada masyarakat agar berhati-hati, karena seorang wanita yang hamil dan menderita penyakit Herpes akan memberikan dampak kepada bayi yang dikandungnya. DAFTAR PUSTAKA Utama, Hendra. 2007. Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Djuanda, Adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. PUSDIKNAKES. 1997. Aids dan Penanggulangannya. Jakarta: Studio Driya Media. Entjang, Indan. 1991. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti. .

No comments:

Post a Comment